Minggu, 29 November 2015

cara berfikir orang minang

Falsafah hi­dup orang Mi­nangkabau me­rupakan kon­sep-konsep yang melan­da­si­ tata kehidupan ata
u kehidupan seorang Minang­kabau itu sendiri. Kekayaan nilai-nilai dan faham yang dianut merupakan ciri yang membentuk karakter serta bagaimana sikap hidup menghadapi dunia dan segala perubahan yang terjadi. Kekayaan nilai dan falsafah ini sungguh teramat banyak, sebagaimana yang terkandung dalam berbagai petuah, pepatah dan petitih adat yang selalu dipakai dalam kehidupan beradat dan bermasyarakat.
Kecenderungan orang Minang menggunakan baha­sa kias, merupakan gam­baran struktur berpikir yang dinamis dan dalam. Bahasa yang digunakan dalam acara formal adat seperti pasambahan atau bahkan dalam pergaulan sehari-hari dengan meng­gunakan bahasa kiasan membutuhkan kearifan dan ketajaman pemahaman lawan bicara menangkap maksud dan maknanya.
Seperti contoh ungkapan Minang yang sangat terke­nal “Takuruang nak di lua, taimpik nak di ateh”, atau contoh yang lain, “Tagan­gnyo bajelo-jelo, kanduanyo badantiang-dantiang”. Tak mudah menjelaskan kedua pepatah atau ungkapan tersebut yang sudah ada  sejak dulu kala.
Ungkapan-ungkapan yang digunakan masyarakat Minang juga banyak meng­gambaran dialektika berpikir yang meruntuhkan konvensi bahasa pada umumnya. Takuruang nak di lua, taimpik nak di ateh, dalam konvensi bahasa sehari-hari hal ini tidak akan pernah terjadi. Bagai­mana sese­orang terkurung, namun tetap berada di luar. Atau ba­gaimana seseorang ter­him­pit tapi dia berada di atas.
Begitu juga dalam tradisi seni dan sastra lisan, banyak sekali menggunakan pantun dan kiasan-kiasan hingga secara terus mene­rus melatih ketajaman intuisi dan kemampuan interpretasi orang Minang. Kemampuan menafsirkan apa yang tersirat bagi orang Minangkabau merupakan bagian dari ketinggian akal budi manusia.
Berpikir Dialektis
Selain kemampuan ber­ko­munikasi dan berbahasa yang mahir, orang Minang menganut paham baguru pado alam yang menjadi dasar filsafat dan cara berpikir dalam menghadapi dinamika kehidupan. Kehi­dupan yang selalu menga­lami berbagai perubahan dan tantangan, serta saling mempengaruhi yang terjadi dalam relasi antara sesama mahkluk dan alam dari masa ke masa akan mela­hirkan tesis baru untuk menghadapinya.
Cara berpikir dialektis ini juga diperkuat dengan hirarkis atau struktur  yang tidak menjadikan kelembagaan atau figur manusia sebagai acuan tertinggi dalam  referensi masyarakat Minangkabau seperti pada masyarakat atau bangsa  yang menga­nut paham otokrasi murni.
Orang Minang mem­bangun referensi dalam struktur dengan meng­gabungkan hirarki kelem­bagaan dengan acuan nilai kepatutan dan kebenaran yang tercermin dalam undang atau petuah berikut; kamanakan barajo ka ma­mak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka alua jo patuik, alua jo patuik barajo ka nan bana, nan bana badiri sendirinyo.
Menempatkan alua (hu­kum dan norma yang berla­ku dalam masyarakat) dan kepatutan sebagai acuan merupakan dasar pertim­bangan dalam mengambil berbagai keputusan. Sedang penempatan kebenaran pada posisi tertinggi sebagai landasan alur dan kepatutan ini juga menjadikan orang Minang tidak berhenti dalam proses mencari kebenaran. Bahwa kebenaran yang berdiri sendiri itu adalah sebuah objektifitas dari alam dan kehidupan itu sendiri. Merupakan sebuah proses sintesis, antitesis dan tesis yang berlangsung secara terus menerus. Walau pada fase perkembangan pernah terjadi kesepakatan antara tokoh adat dengan kelompok agama Islam yaitu saat diadakannya Plakat Panjang dengan melahirkan satu konsensus baru yaitu adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah.
Penempatan adat basandi sarak, sarak basandi kitabul­lah bukanlah untuk meng­un­ci potensi adat dalam satu hal yang dogmatis. Pema­haman keagamaan yang mendalam tentu akan men­ja­di pembimbing jalan hidup individu seorang Minang ke dalam alam yang lebih luas. Sebuah pemak­naan yang jauh melebihi keterbatasan akal manusia dalam meng­hadapi dan menjalankan kehidupan ini. Hingga sifat berguru kepada alam tidak tersesat pada kenaifan-kenaifan akal yang dangkal namun memi­liki landasan pemaparan kehidu­pan yang menyeluruh dan mampu menjawab semua rahasia dan misteri kehidu­pan.
Apabila landasan adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah dipahami sebagai sebuah landasan dogmatis justru akan menjadi persoa­lan pada masyarakat Mi­nangkabau yang sangat dinamis dalam berpikir. Karena itu bertentangan dengan bentukan cara ber­pikir orang Minang yang selalu mencari kebenaran secara terus menerus.
Kemampuan Dip­lomasi dan Negosiasi
Fakta tokoh Minang masa pergerakan kemer­dekaan Indonesia cenderung tampil sebagai juru perun­dingan dengan Belanda atau pihak lainnya dikarenakan kemampuan komunikasi diplomasi dan negosiasi mereka yang terlatih dalam bermasyarakat.
Banyak acara-acara dan upacara resmi adat atau kegiatan masyarakat pada masa lalu dibuka dan dilaksanakan melalui prosesi pasambahan. Pasambahan merupakan uji kepiawaian dalam menggunakan kata-kata penuh kiasan, pepatah dan peribahasa. Hal ini biasa dilakukan ketika menyampaikan pendapat dalam bentuk perundingan-perundingan pada saat upacara adat  seperti manja­puik marapulai, batagak gala dan banyak lagi upa­cara adat  atau acara kemasyarakatan lainnya.
‘Perang tanding’ kepia­waian berkata-kata, berdip­lomasi dan bernegosiasi ini merupakan tantangan bagi setiap laki-laki Minang­kabau baik sebagai niniak mamak, mamak, dan su­man­­do serta status lain­nya dalam hubu­ngan-hubungan adat atau kemasyarakatan di Minang­kabau.
Misalnya dalam acara menjapuik marapulai (men­jem­put menantu laki-laki) kalau tidak pandai dan piawai rombongan keluarga perem­puan yang datang kepada keluarga menantu laki-laki dalam perundingan pasam­bahan, bisa-bisa menantu laki-laki mereka tidak bisa dibawa ke rumah mempelai perempuan atau paling tidak untuk bisa membawa si menantu laki-laki mem­butuhkan waktu yang pan­jang dalam perun­dingan.
Ini tentu suatu yang agak memalukan atau membuat ‘merah telinga’ si alek keluarga perempuan yang datang. Begitulah dalam setiap perundingan pasambahan seringkali terjadi adu kepiawaian dalam berkata-kata dan berdip­lomasi.
Hukum tidak Tertulis dan Ketidakpastian
Berbagai keadaan menja­dikan seorang Minangkabau mesti gigih dalam mencari kebenaran dan juga gigih mempertahankan kebenaran yang dia yakini. Ke dua kegigihan ini akan mem­bentuk seorang Minang menjadi cadiak atau cerdik.
Kecerdikan merupakan gambaran dari kemampuan akal mencerna dan mem­buat referensi sendiri dan kemampuan lisan menje­laskan serta berar­gumentasi. Kecerdikan juga merupakan kemampuan seseorang un­tuk keluar dari berbagai jalinan persoalan yang rumit dan keadaan-keadaan yang sulit.
Hampir seluruh kebera­daan sako dan pusako di Minangkabau tidak berada dalam ranah hukum tertulis. Semuanya ditentukan berda­sarkan keyakinan dan keper­cayaan masyarakat melalui pewarisan secara lisan. Khusus untuk pusako seperti tanah ulayat batas-batasnya ditentukan dengan tanda-tanda seperti batu tanam.
Pusako yang juga tidak dibagi atau diwariskan secara permanen kepada orang perorang anak keme­nakan juga menyebabkan selalu terjadinya perundingan antar mamak dan niniak mamak dalam menetapkan tempat atau lokasi (tanah pusako) yang akan ditempati dan dimanfaatkan oleh seorang kemenakan.
Tak jarang terjadi seng­keta antar suku atau kaum dalam satu nagari karena berbeda keyakinan tentang batas-batas tanah (lantak sipadan). Keadaan itu membutuhkan kecerdikan seorang niniak mamak atau para mamak dalam mem­pertahankan hak ulayat atau pusako kaumnya. Jika tidak kaumnya akan banyak dikecoh orang-orang yang mampu membuat dalil atau referensi yang meyakinkan kerapatan niniak mamak atau orang kampung ten­tang keberadaan harta pusaka tersebut.
Begitu juga dalam pem­berian gelar sako kepada seorang yang baru menikah. Gelar adat atau sako yang diberi juga bukan warisan yang pasti dari seorang ayah atau bahkan suku dan kaumnya. Gelar yang diberi­kan itu juga melalui proses perundingan. Pembe­rian gelar sako juga dikaji berdasarkan kecocokan dengan kepribadian dan keilmuan pihak yang akan diberi gelar.  Demi­kianlah sebagian dari proses dan interaksi kehidupan yang dilalui seorang Minang yang kemu­dian membentuk cara ber­pikir yang dinamis dan cerdik. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar