Falsafah hidup orang Minangkabau merupakan
konsep-konsep yang melandasi tata kehidupan ata
u kehidupan seorang
Minangkabau itu sendiri. Kekayaan nilai-nilai dan faham yang dianut
merupakan ciri yang membentuk karakter serta bagaimana sikap hidup
menghadapi dunia dan segala perubahan yang terjadi. Kekayaan nilai dan
falsafah ini sungguh teramat banyak, sebagaimana yang terkandung dalam
berbagai petuah, pepatah dan petitih adat yang selalu dipakai dalam
kehidupan beradat dan bermasyarakat.
Kecenderungan orang Minang menggunakan bahasa kias, merupakan
gambaran struktur berpikir yang dinamis dan dalam. Bahasa yang
digunakan dalam acara formal adat seperti pasambahan atau bahkan dalam
pergaulan sehari-hari dengan menggunakan bahasa kiasan membutuhkan
kearifan dan ketajaman pemahaman lawan bicara menangkap maksud dan
maknanya.
Seperti contoh ungkapan Minang yang sangat terkenal “Takuruang nak di lua, taimpik nak di ateh”, atau contoh yang lain, “Tagangnyo bajelo-jelo, kanduanyo badantiang-dantiang”. Tak mudah menjelaskan kedua pepatah atau ungkapan tersebut yang sudah ada sejak dulu kala.
Ungkapan-ungkapan yang digunakan masyarakat Minang juga banyak
menggambaran dialektika berpikir yang meruntuhkan konvensi bahasa pada
umumnya. Takuruang nak di lua, taimpik nak di ateh, dalam
konvensi bahasa sehari-hari hal ini tidak akan pernah terjadi.
Bagaimana seseorang terkurung, namun tetap berada di luar. Atau
bagaimana seseorang terhimpit tapi dia berada di atas.
Begitu juga dalam tradisi seni dan sastra lisan, banyak sekali
menggunakan pantun dan kiasan-kiasan hingga secara terus menerus
melatih ketajaman intuisi dan kemampuan interpretasi orang Minang.
Kemampuan menafsirkan apa yang tersirat bagi orang Minangkabau merupakan
bagian dari ketinggian akal budi manusia.
Berpikir Dialektis
Selain kemampuan berkomunikasi dan berbahasa yang mahir, orang Minang menganut paham baguru pado alam
yang menjadi dasar filsafat dan cara berpikir dalam menghadapi dinamika
kehidupan. Kehidupan yang selalu mengalami berbagai perubahan dan
tantangan, serta saling mempengaruhi yang terjadi dalam relasi antara
sesama mahkluk dan alam dari masa ke masa akan melahirkan tesis baru
untuk menghadapinya.
Cara berpikir dialektis ini juga diperkuat dengan hirarkis atau
struktur yang tidak menjadikan kelembagaan atau figur manusia sebagai
acuan tertinggi dalam referensi masyarakat Minangkabau seperti pada
masyarakat atau bangsa yang menganut paham otokrasi murni.
Orang Minang membangun referensi dalam struktur dengan
menggabungkan hirarki kelembagaan dengan acuan nilai kepatutan dan
kebenaran yang tercermin dalam undang atau petuah berikut; kamanakan
barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka alua jo
patuik, alua jo patuik barajo ka nan bana, nan bana badiri sendirinyo.
Menempatkan alua (hukum dan norma yang berlaku dalam
masyarakat) dan kepatutan sebagai acuan merupakan dasar pertimbangan
dalam mengambil berbagai keputusan. Sedang penempatan kebenaran pada
posisi tertinggi sebagai landasan alur dan kepatutan ini juga menjadikan
orang Minang tidak berhenti dalam proses mencari kebenaran. Bahwa
kebenaran yang berdiri sendiri itu adalah sebuah objektifitas dari alam
dan kehidupan itu sendiri. Merupakan sebuah proses sintesis, antitesis
dan tesis yang berlangsung secara terus menerus. Walau pada fase
perkembangan pernah terjadi kesepakatan antara tokoh adat dengan
kelompok agama Islam yaitu saat diadakannya Plakat Panjang dengan
melahirkan satu konsensus baru yaitu adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah.
Penempatan adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah
bukanlah untuk mengunci potensi adat dalam satu hal yang dogmatis.
Pemahaman keagamaan yang mendalam tentu akan menjadi pembimbing jalan
hidup individu seorang Minang ke dalam alam yang lebih luas. Sebuah
pemaknaan yang jauh melebihi keterbatasan akal manusia dalam
menghadapi dan menjalankan kehidupan ini. Hingga sifat berguru kepada
alam tidak tersesat pada kenaifan-kenaifan akal yang dangkal namun
memiliki landasan pemaparan kehidupan yang menyeluruh dan mampu
menjawab semua rahasia dan misteri kehidupan.
Apabila landasan adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah dipahami
sebagai sebuah landasan dogmatis justru akan menjadi persoalan pada
masyarakat Minangkabau yang sangat dinamis dalam berpikir. Karena itu
bertentangan dengan bentukan cara berpikir orang Minang yang selalu
mencari kebenaran secara terus menerus.
Kemampuan Diplomasi dan Negosiasi
Fakta tokoh Minang masa pergerakan kemerdekaan Indonesia cenderung
tampil sebagai juru perundingan dengan Belanda atau pihak lainnya
dikarenakan kemampuan komunikasi diplomasi dan negosiasi mereka yang
terlatih dalam bermasyarakat.
Banyak acara-acara dan upacara resmi adat atau kegiatan masyarakat
pada masa lalu dibuka dan dilaksanakan melalui prosesi pasambahan.
Pasambahan merupakan uji kepiawaian dalam menggunakan kata-kata penuh
kiasan, pepatah dan peribahasa. Hal ini biasa dilakukan ketika
menyampaikan pendapat dalam bentuk perundingan-perundingan pada saat
upacara adat seperti manjapuik marapulai, batagak gala dan banyak lagi upacara adat atau acara kemasyarakatan lainnya.
‘Perang tanding’ kepiawaian berkata-kata, berdiplomasi dan
bernegosiasi ini merupakan tantangan bagi setiap laki-laki Minangkabau
baik sebagai niniak mamak, mamak, dan sumando serta status lainnya dalam hubungan-hubungan adat atau kemasyarakatan di Minangkabau.
Misalnya dalam acara menjapuik marapulai (menjemput
menantu laki-laki) kalau tidak pandai dan piawai rombongan keluarga
perempuan yang datang kepada keluarga menantu laki-laki dalam
perundingan pasambahan, bisa-bisa menantu laki-laki mereka
tidak bisa dibawa ke rumah mempelai perempuan atau paling tidak untuk
bisa membawa si menantu laki-laki membutuhkan waktu yang panjang dalam
perundingan.
Ini tentu suatu yang agak memalukan atau membuat ‘merah telinga’ si alek keluarga perempuan yang datang. Begitulah dalam setiap perundingan pasambahan seringkali terjadi adu kepiawaian dalam berkata-kata dan berdiplomasi.
Hukum tidak Tertulis dan Ketidakpastian
Berbagai keadaan menjadikan seorang Minangkabau mesti gigih dalam
mencari kebenaran dan juga gigih mempertahankan kebenaran yang dia
yakini. Ke dua kegigihan ini akan membentuk seorang Minang menjadi cadiak atau cerdik.
Kecerdikan merupakan gambaran dari kemampuan akal mencerna dan
membuat referensi sendiri dan kemampuan lisan menjelaskan serta
berargumentasi. Kecerdikan juga merupakan kemampuan seseorang untuk
keluar dari berbagai jalinan persoalan yang rumit dan keadaan-keadaan
yang sulit.
Hampir seluruh keberadaan sako dan pusako di Minangkabau
tidak berada dalam ranah hukum tertulis. Semuanya ditentukan
berdasarkan keyakinan dan kepercayaan masyarakat melalui pewarisan
secara lisan. Khusus untuk pusako seperti tanah ulayat batas-batasnya ditentukan dengan tanda-tanda seperti batu tanam.
Pusako yang juga tidak dibagi atau diwariskan secara
permanen kepada orang perorang anak kemenakan juga menyebabkan selalu
terjadinya perundingan antar mamak dan niniak mamak dalam menetapkan
tempat atau lokasi (tanah pusako) yang akan ditempati dan dimanfaatkan oleh seorang kemenakan.
Tak jarang terjadi sengketa antar suku atau kaum dalam satu nagari karena berbeda keyakinan tentang batas-batas tanah (lantak sipadan).
Keadaan itu membutuhkan kecerdikan seorang niniak mamak atau para mamak
dalam mempertahankan hak ulayat atau pusako kaumnya. Jika tidak
kaumnya akan banyak dikecoh orang-orang yang mampu membuat dalil atau
referensi yang meyakinkan kerapatan niniak mamak atau orang kampung tentang keberadaan harta pusaka tersebut.
Begitu juga dalam pemberian gelar sako kepada seorang yang baru menikah. Gelar adat atau sako
yang diberi juga bukan warisan yang pasti dari seorang ayah atau bahkan
suku dan kaumnya. Gelar yang diberikan itu juga melalui proses
perundingan. Pemberian gelar sako juga dikaji berdasarkan
kecocokan dengan kepribadian dan keilmuan pihak yang akan diberi gelar.
Demikianlah sebagian dari proses dan interaksi kehidupan yang dilalui
seorang Minang yang kemudian membentuk cara berpikir yang dinamis dan
cerdik. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar